Kamis, 21 Oktober 2010

Memperindah Hati

Setiap manusia tentulah sangat menyukai dan merindukan keindahan. Banyak orang yang menganggap keindahan adalah pangkal dari segala puji dan harga. Tidak usah heran kalau banyak orang memburunya. Ada orang yang berani pergi beratus bahkan beribu kilometer semata-mata untuk mencari suasana pemandangan yang indah. Banyak orang rela membuang waktu untuk berlatih mengolah jasmani setiap saat karena sangat ingin memiliki tubuh yang indah. Tak sedikit juga orang berani membelanjakan uangnya berjuta bahkan bermilyar karena sangat rindu memiliki rumah atau kendaraan mewah.

Akan tetapi, apa yang terjadi? Tak jarang kita menyaksikan betapa terhadap orang-orang yang memiliki pakaian dan penampilan yang mahal dan indah, yang datang ternyata bukan penghargaan, melainkan justru penghinaaan. Ada juga orang yang memiliki rumah megah dan mewah, tetapi bukannya mendapatkan pujian, melainkan malah cibiran dan cacian. Mengapa keindahan yang tadinya disangka akan mengangkat derajat kemuliaan malah sebaliknya, padahal kunci keindahan yang sesungguhnya adalah jika sesorang merawat serta memperhatikan kecantikan dan keindahan hati. Inilah pangkal kemuliaan sebenarnya.

Rasulullah SAW pakaiannya tidak bertabur bintang penghargaan, tanda jasa, dan pangkat. Akan tetapi, demi Allah sampai saat ini tidak pernah berkurang kemuliaannya. Rasulullah SAW tidak menggunakan singgasana dari emas yang gemerlap, ataupun memiliki rumah yang megah dan indah. Akan tetapi, sampai detik ini sama sekali tidak pernah luntur pujian dan penghargaan terhadapnya, bahkan hingga kelak datang akhir zaman. Apakah rahasianya? Ternyata semua itu dikarenakan Rasulullah SAW adalah orang yang sangat menjaga mutu keindahan dan kesucian hatinya.

Rasulullah SAW bersabda, "Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu!" (HR. Bukhari dan Muslim).

Boleh saja kita memakai segala apapun yang indah-indah. Namun, kalau tidak memiliki hati yang indah,demi Allah tidak akan pernah ada keindahan yang sebenarnya. Karenanya jangan terpedaya oleh keindahan dunia. Lihatlah, begitu banyak wanita malang yang tidak mengenal moral dan harga diri. Mereka pun tidak kalah indah dan molek wajah, tubuh, ataupun penampilannya. Kendatipun demikian, mereka tetap diberi oleh Allah dunia yang indah dan melimpah.

Ternyata dunia dan kemewahan bukanlah tanda kemuliaan yang sesungguhnya karena orang-orang yang rusak dan durjana sekalipun diberi aneka kemewahan yang melimpah ruah oleh Allah. Kunci bagi orang-orang yang ingin sukses, yang ingin benar-benar merasakan lezat dan mulianya hidup, adalah orang-orang yang sangat memelihara serta merawat keindahan dan kesucian qalbunya.

Imam Al Ghazali menggolongkan hati ke dalam tiga golongan, yakni yang sehat (qolbun shahih), hati yang sakit (qolbun maridh), dan hati yang mati (qolbun mayyit).

Seseorang yang memiliki hati sehat tak ubahnya memiliki tubuh yang sehat. Ia akan berfungsi optimal. Ia akan mampu memilih dan memilah setiap rencana atas suatu tindakan, sehingga setiap yang akan diperbuatnya benar-benar sudah melewati perhitungan yang jitu berdasarkan hati nurani yang bersih.

Orang yang paling beruntung memiliki hati yang sehat adalah orang yang dapat mengenal Allah Azza wa Jalla dengan baik. Semakin cemerlang hatinya, maka akan semakin mengenal dia. Penguasa jagat raya alam semesta ini. Ia akan memiliki mutu pribadi yang begitu hebat dan mempesona. Tidak akan pernah menjadi ujub dan takabur ketika mendapatkan sesuatu, namun sebaliknya akan menjadi orang yang tersungkur bersujud. Semakin tinggi pangkatnya, akan membuatnya semakin rendah hati. Kian melimpah hartanya, ia akan kian dermawan. Semua itu dikarenakan ia menyadari, bahwa semua yang ada adalah titipan Allah semata. Tidak dinafkahkan di jalan Allah, pasti Allah akan mengambilnya jika Dia kehendaki.

Semakin bersih hati, hidupnya akan selalu diselimuti rasa syukur. Dikaruniai apa saja, kendati sedikit, ia tidak akan habis-habisnya meyakini bahwa semua ini adalah titipan Allah semata, sehingga amat jauh dari sikap ujub dan takabur. Persis seperti ucapan yang terlontar dari lisan Nabi Sulaiman AS, tatkala dirinya dianugerahi Allah berbagai kelebihan, "Haadzaa min fadhli Rabbii, liyabluwani a-asykuru am afkuru." (QS. An Naml [27] : 40). Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku mampu bersyukur atau malah kufur atas nikmat-Nya.

Suatu saat bagi Allah akan menimpakkan ujian dan bala. Bagi orang yang hatinya bersih, semua itu tidak kalah terasa nikmatnya. Ujian dan persoalan yang menimpa justru benar-benar akan membuatnya kian merasakan indahnya hidup ini. Karena, orang yang mengenal Allah dengan baik berkat hati yang bersih, akan merasa yakin bahwa ujian adalah salah satu perangkat kasih sayang Allah, yang membuat seseorang semakin bermutu.

Dengan persoalan akan menjadikannya semakin bertambah ilmu. Dengan persoalan akan bertambahlah ganjaran. Dengan persoalan pula derajat kemuliaan seorang hamba Allah akan bertambah baik, sehingga ia tidak pernah resah, kecewa, dan berkeluh kesah karena menyadari bahwa persoalan merupakan bagian yang harus dinikmati dalam hidup ini.

Oleh karenanya, tidak usah heran orang yang hatinya bersih, ditimpa apapun dalam hidup ini, sungguh bagaikan air di relung lautan yang dalam. Tidak pernah akan berguncang walaupun ombak badai saling menerjang. Ibarat karang yang tegak tegar, dihantam ombak sedahsyat apapun tidak akan pernah roboh. Tidak ada putus asa, tidak ada keluh kesah berkepanjangan. Yang ada hanya kejernihan dan keindahan hati. Ia amat yakin dengan janji Allah, "Laa yukalifullahu nafasan illa wus’
ahaa." (QS. Al Baqarah [2] : 286). Allah tidak akan membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Pasti semua yang menimpa sudah diukur oleh-Nya. Mahasuci Allah dari perbuatan zhalim kepada hamba-hamba-Nya.

Ia sangat yakin bahwa hujan pasti berhenti. Badai pasti berlalu. Malam pasti berganti menjadi siang. Tidak ada satu pun ujian yang menimpa, kecuali pasti akan ada titik akhirnya. Ia tidak berubah bagai intan yang akan tetap kemilau walaupun dihantam dengan apapun jua.

Memang luar biasa orang yang memiliki hati yang bersih. Nikmat datang tak pernah membuatnya lalai bersyukur, sementara sekalipun musibah yang menerjang, sama sekali tidak akan pernah mengurangi keyakinan akan curahan kasih sayang-Nya. Semua itu dikarenakan ia bisa menyelami sesuatu secara lebih dalam atas musibah yang menimpa dirinya, sehingga tergapailah sang mutiara hikmah. Subhanallaah, sungguh teramat beruntung siapapun yang senantiasa berikhtiar dengan sekuat-kuatnya untuk memperindah qolbunya.

Dikutip dari ceramah Aa' Gym

DIALOG ANTARA DAKWAH VS JIHAD

Berikut dokumen diskusi soal hubungan antara jihad dengan dakwah yang pernah terjadi di sebuah blog. Diskusi ini terjadi sebulan sebelum meletus jihad Aceh 2010.

Untuk memudahkan dalam membaca, saya akan buat dua kubu; kubu Dakwah dan kubu Jihad. Ini bukan untuk dikhotomi, tapi biar gampang dimengerti saja.

Diskusi ini bergulir diawali kubu Dakwah yang menuliskan kalimat sebagai berikut di blognya:

[Prihatin dengan merebaknya semangat jihad di kalangan muda tapi mengabaikan pertimbangan hikmah sehingga madharatnya lebih menonjol dibanding manfaatnya].

Kalimat ini sontak memantik reaksi dari kubu Jihad. Seseorang dengan nama Jon meluapkan kritiknya terhadap kalimat yang ditulis kubu Dakwah tersebut di komentar pembaca. Dia menulis sebagai berikut:

Wahai Asatidz Kiraam ….

Ketika jihad fardhu ‘ain apakah pantas kalimat itu muncul dari antum semua ….

Ketahuilah Ayyuhal Asatidzah Al-Kiraam …

Segala perintah syar’i itu pasti bermanfaat dan meninggalkannya pasti menimbulkan madharat.

Itu seharusnya diyakini setiap muslim, dan ana kira antum semua lebih paham akan hal ini, yang merupakan mabadi’ akidah Islam.

Pertimbangan manfaat madharat itu hanya ada dalam sesuatu yang hukumnya mubah (boleh), seperti orang mau membeli sesuatu, dia akan mempertimbangkan apakah yang dibeli itu manfaat baginya atau sebaliknya. Bukankah begitu ayyuhal Asatidzah Al-Kiraam ..?

Kalau tanggapan ana salah mohon diluruskan …

Karena ana khawatir kalimat itu akan menjadi polemik bagi ikhwan-ikhwan yang sensitif dalam masalah tersebut. Mohon direvisi poin tersebut.

Kalau antum mau ngurusi dakwah secara umum, janganlah ikut-ikutan ngurusi masalah jihad dan amaliyah yang dilakukan ikhwan-ikhwan yang merasa mampu melakukannya.

Dan jika antum merasa belum mampu, janganlah antum menghalangi keinginan mereka.

Sesungguhnya mereka hanya ingin melepaskan tanggung jawab mereka kelak di hadapan Allah ketika ditanya tentang pembantaian saudara-saudaranya sesama muslim di berbagai penjuru dunia bahkan di Indonesia.

Apakah Antum semua lupa dengan pembantaian umat Islam di Poso, Ambon, Lampung dll …?

Cobalah jangan membuat polemik dengan mereka yang sedang butuh dukungan antum semua para du’at shodiqiin ….

Ana hanya menyalurkan aspirasi mereka dan mencegah sebelum terlambat …

Kalau antum tidak menghiraukan masukan ini, jangan salahkan kalau nanti ada suara-suara sumbang terhadap lembaga ini ….

Jazaakumullooh khoiron katsiiro

Komentar oleh jon — Februari 22, 2010 @ 3:34 am

Komentar lain dari kubu Jihad datang dari Bagus, yang mengatakan:


Kepada saudara-saudaraku kaum muslimin yang mencintai jalannya jihad,

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa umat ini jatuh dalam kehinaaan …

Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa ma’shiyat telah merajalela dan menjadi kebiasaan …

Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa barokah ilmu ini banyak terangkat dari pemiliknya dan banyak yang menjadikan ilmu sebagai mainan …

Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa du’atun ilaa abwaabi jahannam telah melalang buana dan ke seluruh dunia mereka berjalan …

Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa serangan kaum kafir, murtad, musyrik ataupun fasiq telah dilancarkan dengan berbagai media dan disebarluaskan …

Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa syari’at islam menjadi dolanan dan olok-olokan …

Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa syubuhat kemurtad-an telah banyak menimpa umat yang sadar dan yang tidak sadar…

Sesungguhnya kita telah mengetahui fitnah kekafiran itu menimpa kawan-kawan dan saudara-saudara kita. Mereka berpagi hari dalam iman dan bersore hari jatuh dalam kekufuran. Bersore hari dalam iman dan berpagi hari jatuh dalam kekufuran…

Sesungguhnya kita telah mengetahui saudari kita di bunuh di iraq, ibu kita di bunuh di chechnya, saudara kita di siksa tanpa henti di guantanamo, bayi kita dibunuhi di palestina dan masih banyak luka di berbagai belahan bumi yang tidak bisa kita ceritakan …

Sesungguhnya kita telah mengetahui umat ini banyak yang tidak berpengetahuan terhadap hakekat islam, sedangkan sebagiannya pura2 tidak tahu, dan sebagaian yang lain tidak mau mendapat pengetahuan yang berkaitan dengan iman…

Sesungguhnya kita telah mengetahaui bahwa moral masyarakat semakin hari banyak yang jatuh pada keburukan …

Sesungguhnya kita telah mengetahui sistem riba telah ditanamkan …

Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa banyak hak2 kaum muslimin yang terabaikan …

DAN hanya pada Alloh -lah kita meminta pertolongan …

Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda,

لَئِنْ أَنْتُمْ اتَّبَعْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَتَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَيُلْزِمَنَّكُمْ اللَّهُ مَذَلَّةً فِي أَعْنَاقِكُمْ ثُمَّ لَا تُنْزَعُ مِنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُونَ إِلَى مَا كُنْتُمْ عَلَيْهِ وَتَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ

“Jika kalian mengikuti ekor sapi, berjual beli dengan (model) riba dan kalian meninggalkan jihad di jalan Alloh. (Maka) Alloh akan benar-benar menempelkan kehinaan pada leher-leher kalian, kemudian tidak akan tercabut dari kalian hingga kalian kembali kepada apa yang dulu kalian berada di atasnya dan kalian tawbat kepada Alloh.” (HR. Imam Ahmad)

Beliau juga bersabda,

يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا ، قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمِنْ قِلَّةٍ يَوْمَئِذٍ ؟ قَالَ : لا بَلْ أَنْتُمْ كَثِيرٌ ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ ، وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ ، وَلَتَعْرِفُنَّ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنُ ، قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا الْوَهْنُ ؟ قَالَ : حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ ”

“Hamipir-hampir seluruh umat ini mengeroyok kalian sebagai orang-orang yang (hendak) makan mengeroyok tempat makannya.” Ada yang bertanya, “wahai Rosululloh, apakah karena sedikit (jumlah kita) ketika itu?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan kalian ketika itu (berjumlah) banyak. Akan tetapi kalian (bagaikan) buih seperti buih dalam bah. Alloh juga akan mencabut rasa takut terhadap kalian dari dada musuh kalian dan mereka akan benar-benar mengetahui (adanya) WAHN dalam hati kalian.” (Lalu) ada yang bertanya, “wahai Rosululloh, apakah WAHN itu?” Beliau menjawab, “cinta dunia dan benci mati.” (Di nukil dari Imam al-Baghowiy dalam syarhus sunnah)

Sedangkan dalam riwayat Ahmad disebutkan, “Cinta dunia dan benci terhadap perang.” al-Haytsami berkata, sanadnya bagus.

Cukuplah dari dua hadits di atas dapat kita ketahui bahwa problem yang menimpa ummat ini justru karena meninggalkan jihad.

Kemajuan teknologi yang ada membuktikan ilmu itu masih ada dan akan terus ada, namun jihad banyak ditinggalkan.

Banyaknya lembaga pendidikan islam juga membutktikan bahwa ilmu itu makin bertambah dan tidak hilang, akan tetapi jihad telah disepelekan.

Banyaknya orang yang hafal al-Qur-an dan mengetahui artinya itu membuktikan bahwa ilmu itu masih Alloh pelihara hingga datang waktunya, tapi jihad telah diabaikan.

Fa yaa ummatal islam

Oleh karena itu, di sini kita membutuhkan ustadz-ustadz yang mau terjun dalam jihad…

Kita butuh ulama’ yang mau mengorbankan darahnya demi suburnya jihad …

Kita butuh aghniya’ yang mau menginfaq kan hartanya demi jalannya jihad …

Kita butuh murobbii-murobbii yang mendidik binaannya untuk siap terjun dalam jihad …

Kita membutuhkan ummahaat yang siap mengorbankan suami dan putera-puteranya dalam jihad …

Kita butuh da’i – da’i yang menyerukan jalannya jihad …

Maka sangat ana sayangkan jika blog / wordpres masih ada irama penggembosan seperti yang tercantum dalam kalimat Antum di atas;

[Prihatin dengan merebaknya semangat jihad di kalangan muda tapi mengabaikan pertimbangan hikmah sehingga madharatnya lebih menonjol dibanding manfaatnya.]

Hanya sebagai saran dan masukkan bagi Antum, hilangkan lah kalimat itu.

Kalimat yang demikian dan yang semisalnya hanyalah akan meloyokan semangat jihad kaum muslimin. Seolah-olah -sebagaimana yang mereka terima di berbagai media informasi-, bahwa jihad yang telah berjalan beberapa kali di indonesia khususnya ini hanyalah berbuat madhorrot dan sedikit dari hikmah.

Jika Antum tidak bertujuan untuk menggembosi ummat, maka terangkanlah dari maksud perkataan Antum itu. Sebutkan juga dukungan kalian terhadap jihad dan mujahidin. Jelaskanlah dengan sejelas-jelasnya pada ummat -dalam misi kalian- bahwa kalian akan menjayakan islam ini dengan da’wah dan jihad. Bukan dengan salah satunya.

Jadilah kelompok yang menyiapkan du’at sekaligus mujahidin.

Jadilah kelompok yang melayani ummat secara ilman wa ‘amalan.

Jadilah kelompok yang da’wah wal jihad sebagai jalan.

Jangan salah satunya!!!

Sedikit ini yang dapat ana sampaikan.

Semoga ini menjadi perbaikan.

Hendaknya kata-kata Antum yang ana sampaikan tadi di buang atau diberi penjelasan.

Dan semoga keberadaan kita ini menambah kejayaan islam dengan da’wah dan jihad sebagai jalan.

Hanya maaf dan istighfar yang dapat ana sampaikan atas segala kekurangan.

Wa aakhiru da’wana anil hamdu lillahi Robbil ‘alamin.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Komentar oleh Bagus — Februari 22, 2010 @ 5:40 am

Tanggapan dari dua orang dari kubu Jihad tersebut dijawab oleh kubu Dakwah sebagai berikut:

Kami sudah berusaha menyusun kalimat yang paling santun dalam mengoreksi. Kalimat itu jangan dipotong sebelum titik, tapi baca dengan lengkap. [Prihatin dengan merebaknya semangat jihad di kalangan muda tapi mengabaikan pertimbangan hikmah sehingga madharatnya lebih menonjol dibanding manfaatnya]. Sekiranya kalimat itu hanya begini: [Prihatin dengan merebaknya semangat jihad], maka kalimat itu bermakna menggembosi jihad. Tapi kalimatnya menyambung, yang titik tekannya pada aspek hikmah. Hikmah kurang lebih maknanya adalah melakukan kebajikan dengan standar kebijakan dengan ukuran yang pas, tidak berlebihan atau berkurangan.

Jihad dalam konteks Indonesia hendaklah berkait berkelindan dengan dakwah. Jangan sampai jihad memiliki logika sendiri, sementara dakwah juga punya logika sendiri.

Antum bisa belajar ketika terjadi infijar di Jakarta yang menyebabkan beberapa nyawa muslim ikut menjadi korban. Bayangkan antum dalam posisi sebagai da’i yang harus mendukung jihad di depan masyarakat awam. Dengan dalil ayat atau hadits mana sang da’i bisa membela antum di hadapan publik? Apakah sudah sampai kondisi yang demikian darurat sehingga nyawa muslim sudah tidak perlu dipertimbangkan lagi? Sebagaimana dalam kasus jika musuh ber-tatarrus dengan muslim (menjadikan muslim sebagai tameng kaum kafir dari serangan mujahidin). Dalam kondisi seperti ini, jika pasukan Islam tidak menyerang musuh dengan resiko terbunuhnya muslim, musuh-musuh itu justru akan mengalahkan umat Islam yang madharatnya akan lebih besar. Dalam situasi begini, tertumpahnya darah muslim dibolehkan, dengan pertimbangan akhaffu dhararain.

Pertanyaan yang perlu antum jawab dengan ilmu yang jujur; apakah melawan AS atau Barat di Indonesia tidak bisa dilakukan kecuali dengan menumpahkan darah muslim? Artinya, tak ada cara lain kecuali dengan berdampak hilangnya nyawa muslim? Kalau jawabannya: ya, berarti sudah bisa masuk dalam ranah hukum darurat, atau dalam teori akhaffu dhararain. Tapi jika masih ada cara lain, semisal antum menjadi sniper yang pasti korbannya terukur, pake racun, modus tabrakan atau cara yang lain, maka tertumpahnya darah muslim tidak bisa masuk dalam hukum darurat.

Ini artinya antum egois, tidak mau mempertimbangkan bagaimana kesulitan para ustadz dan da’i untuk membela antum. Antum asyik hidup dengan logika sendiri, seolah berada di planet lain. Ketika para da’i dan ustadz tidak membela antum, antum sakit hati. Ketika kami menyatakan itu bukan jihad yang dibimbing hikmah, antum juga marah.

Ketika Rasulullah saw dimintai ijin oleh seorang sahabat untuk membunuh sang munafiq – Abdullah bin Ubay – Rasulullah saw menolak, dengan jawaban yang sangat terkenal: Nanti bagaimana jika masyarakat mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat dekatnya sendiri.

Akhi mujahid, nahnu nuhibbukum fillah. Tak ada niatan sedikitpun untuk menggembosi jihad antum, tapi ingin mengarahkan agar jihad antum bisa seirama dengan kegiatan dakwah.

Jawaban Rasulullah saw itu bermakna bahwa Rasulullah saw menggunakan pertimbangan dakwah, lebih tepatnya opini masyarakat. Secara lahir, Abdullah bin Ubay adalah muslim. Masyarakat tidak tahu bahwa ia musuh besar Islam. Ketika masyarakat mendapati orang yang di mata mereka muslim dan dekat dengan Rasulullah saw, lalu yang merekomendasikan membunuh juga Rasulullah saw, maka secara opini akan merugikan dakwah Islam. Itu yang kami maksud dengan madharat. Yakni madharat dakwah.

Jika ini dibiarkan, umat Islam Indonesia justru akan phobi terhadap istilah jihad, karena jihad di benak mereka korbannya pasti orang kafir. Lalu bagaimana ini, kok ada jihad yang korbannya muslim pada saat masih dimungkinkan memilih korban kafir saja? Jangan salah, masyarakat kita juga kritis.

Kami sarankan antum lebih banyak membaca tema hikmah, agar dakwah dan jihad antum lebih berhasil. Bukankah kita punya obsesi sama, kemenangan Islam?

Akhi mujahid. Rencanakan jihad antum untuk MENANG, bukan untuk MATI. Jika antum hanya merencanakan kematian, berarti antum menyiapkan kekalahan. Semua mujahid pasti merancang strategi sejitu mungkin untuk menang, bukan merancang strategi seheboh mungkin untuk mati.

Obsesi mati fi sabilillah itu wajib. Tapi merancang kemenangan juga wajib. Dan jihad tak akan menang jika meninggalkan saudara kembarnya; dakwah.

Semoga Allah menjaga kita semua dari perpecahan. Ya Allah, persatukan hati kami dalam dakwah dan jihad dalam rangka litakuna kalimatullahi hiyal ulya.

Catatan:

Baca dengan dada terbuka, jangan baca dengan dada sempit karena benci atau su’u dhan atau karena ingin merasakan kepuasan mengalahkan lawan debat.

al-haqq ahaqqu an yuttaba’.

Komentar oleh Da’i — Februari 22, 2010 @ 8:22 am

Kubu Jihad yang diwakili oleh Jon kembali mengomentari sebagai berikut:

Alhamdulillah ada yang menaggapi. Artinya antum memang orang yang serius dalam berdakwah. Insya Allah ana juga bukan orang yang sempit dada menerima kritikan antum. Ana hanya ingin menjadi orang yang beruntung sebagaimana dalam surat Al-’Ashr.

Ikhwani Dua’t ilallah …

Afwan dakwah memang harus selaras dengan jihad. Ana setuju bahwa banyak ikhwan yang semangat jihad tapi kurang semangat dalam tholabul ilmi. Demikian juga sebaliknya, banyak yang semangat tholabul ilmi tapi loyo semangat jihadnya. Memang kita harus memadukan antara keduanya agar ideal: ya jihad ya berilmu.

Tetapi kita juga harus realistis. Bahwa musuh sekarang ini juga semakin pintar dalam melindungi diri mereka dari serangan mujahidin. Sehingga aksi-aksi mujahidin tidak bisa membebaskan dari korban dari kaum muslimin. Meskipun banyak juga yang bersih dari korban muslim.

Saran antum memang ana terima, melawan musuh tidak harus dengan aksi infijar, bisa dengan sniper, dan cara-cara ightiyal yang lain. tetapi ketika cara-cara yang disarankan itu belum bisa dilaksanakan. Ditambah banyaknya para pemuda yang ingin mati syahid kita juga tidak bisa menghalangi mereka untuk meraih keinginannya.

Sebenarnya titik perbedaannya adalah pada persoalan: apakah di sini negara aman atau negara konflik (menurut hemat ana, yang bisa jadi salah). Karena para du’at yang menganggap aksi ikhwan mujahidin tidak berdasarkan pertimbangan hikmah biasanya alasannya seperti itu. Sehingga seringkali kita mendengar du’at yang mengatakan, “Kalau memang mau berjihad jangan di sini, pergi saja ke Afghanistan, Iraq, Chechnya dan daerah-daerah konflik lainnya.” Karena anggapannya di sini adalah daerah aman alias non konflik.

Padahal antum semua tahu dan paham bahwa sebenarnya umat Islam telah dijajah di sini sejak lama. Mereka dibantai di Poso, Ambon, Lampung dll. Itu yang lokal. Sedangkan yang global antum sudah tahu bagaimana AS membantai ikhwan dan akhwat kita di berbagai penjuru dunia.

Jadi sebenarnya maqamnya adalah maqam harb. Jadi kalau ada umat islam yang ingin membela diri dan membela saudara-saudaranya baik lokal maupun internasional jelas dibenarkan syariat. (ini menurut hemat ana yang bodoh dan berpola pikir sederhana).

Ana akan mencoba menanggapi komentar antum:

[Bayangkan antum dalam posisi sebagai da’i yang harus mendukung jihad di depan masyarakat awam. Dengan dalil ayat atau hadits mana sang da’i bisa membela antum di hadapan publik?]

Ya Akhi … kalau sudah kondisi perang kita harus bertanya kepada para komandan perang sehingga kita akan paham apa pertimbangan mereka melakukan aksi-aksi mereka.

Dan ketika kondisinya seperti itu cara antum membela adalah pertama melakukan investigasi kasus tersebut sehingga antum tahu betul siapa korban-korban yang meninggal dan siapa korban-korban yang terluka. Jangan percaya laporan dari nara sumber media-media kafir. Hatta dari media muslim pun harus ditabayyun. Itulah kewajiban kita ketika menerima berita.

Karena ana yakin, ketika mujahidin melakukan aksi tidak sembarangan. Ada prosedur yang cukup ketat dan standar yang mereka jalani sebelum melakukan aksi. Adapun hasilnya itu diserahkan kepada Allah Ta’ala.

Jadi itu dulu yang antum lakukan sebagai bentuk pembelaan kepada mujahidin. Kalau antum sudah melakukannya dan memang benar ada muslim yang jadi korban, baru melangkah kepada langkah pembelaan yang lain.

[Ini artinya antum egois, tidak mau mempertimbangkan bagaimana kesulitan para ustadz dan da’i untuk membela antum. Antum asyik hidup dengan logika sendiri, seolah berada di planet lain.]

Ya Akhi … Dakwah yang benar, ada aksi atau tidak ada aksi pasti akan menemui kesulitan. Apakah antum tidak melihat bagaimana dakwah rasulullah di Mekah? Apa yang dialami beliau dalam berdakwah kepada Islam?

Sudahkah antum berittiba’ dalam berdakwah kepada Islam? Sehingga ketika ada aksi jihad terus kalian menyalahkan aksi jihad tersebut. Oke, bisa jadi ada kesalahan dalam suatu aksi jihad. Lalu apakah dengan kesalahan itu jihad terus tidak boleh lagi? Karena membuat para da’i kesulitan?

Sesulit apakah dakwah antum sehingga sampai tega bersikap seperti itu?

Kalau antum tetap membela aksi jihad yang menurut antum salah, paling antum hanya akan digelari teroris, Islam radikal, garis keras, dan julukan-julukan lainnya. Sepengetahuan ana tidak ada yang sampai dibunuh atau dipenjara atau disiksa.

Tetapi karena antum tidak berani dijuluki dengan julukan seperti itu demi membela mujahidin dan aksinya maka antum jadi berkata, [Ketika para da’i dan ustadz tidak membela antum, antum sakit hati. Ketika kami menyatakan itu bukan jihad yang dibimbing hikmah, antum juga marah.]

Sekarang ana bertanya, ketika menurut antum jihad yang di sini bukan jihad yang dibimbing hikmah untuk sekarang ini, lalu kapan waktunya? Apakah sampai kita bisa menandingi kekuatan thaghut dan AS? Padahal saudara-saudara kita di mana-mana dibantai … Atukah nunggu giliran kita semua dibantai seperti di Poso, Lampung, Tanjung priok, Ambon dll baru kita bisa berjihad dengan hikmah?

Tolong berikan kepada kami penjelasan yang berdasarkan dalil-dalil syar’I, agar kami bisa mengikuti dalil-dalil tersebut, bukan mengikuti pertimbangan maslahat madharat yang tidak berdalil …

Jazakumulloh khoiron katsiro

Waffaqanallooh wa iyyaakum ilaa ash-showaab.

Komentar oleh jon — Februari 24, 2010 @ 3:22 am

Komentar ini ditanggapi oleh kubu Dakwah dengan nama al-uyairi sebagai berikut:

Untuk akhi Jon, ana mencoba menganalisa pernyataan antum yg terakhir sekaligus menanggapi,

1. Antum menyimpulkan Indonesia darul harb, ya bisa jg dikatakan bgtu, karena hukum asal negara yg tidak brlandas syari’at adalah negara kafir/harb, hanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan ada penamaan lain untuk menjelaskan negara yg dihuni mayoritas muslim tetapi tdk berlandas syari’at yaitu darul marid, spt baghdad pd masa beliau yg dikuasai tartar. Indonesia jg cocok dengan definisi ini. Ketika negara statusnya marid maka tidak bisa hantam kromo perlu penelitian ulang dan evaluasi metode teknis sangat diperlukan karena jelas banyak orang muslim disitu.

2. Penjelasan antum agak rancu pd point/kasus menyikapi bhwa amaliyah yg dilakukan ikhwah2 itu berlandaskan pd jihad global atau lokal, memang benar data2 antum tp kalau kita mau menyikapi ini perlu jelas dulu alsan amaliyyah, jika alasannya kedua2nya, maka ini akan berbenturan satu sama lain. Misalnya melakukan aksinya karena alasan lokal tentu tidak menghantam pribumi yg tdk tahu menahu kasus poso dan ambon, terlebih mereka muslim yg – husnudzon ana – mereka pasti tdk setuju dgn pembantaian ambon dan poso, kalau lampung sebaiknya mengejar orang yg paling bertanggung jawab dari institusi yang terlibat, itu baru namanya hati2 dan terukur, faktanya target adalah orang asing sementara orang/institusi yg bertanggung jawab terhadap kasus ambon,poso,lampung malah menjadi punya senjata baru untu menghantam mujahidin. Kalau isu global maka jelas targetnya orang asing yg negaranya dianggap terlibat pembantaian ummat Islam di palestina, iraq, afghan, ini sudah tepat tapi faktanya masih ada korban yg harusnya tdk perlu, dan satu hal yg perlu antum ingat memperluas wilayah konflik dgn infijar disini dalam rangka andil melawan musuh global adalah sebuah ijtihad, tentunya sebuah ijtihad harus diuji dgn timbangan mashlahat dan mudhorot ya akhi…

3. Kalau antum mau dalil dalam masalah ini, bukan disini tempatnya, lagipula masalah dalil sudah lewat dan kita sepakat bahwa jihad wajib dalam membella ummat ini, kemudian masalah landasan ijtihad melakukan amaliyah disinipun kita sudah paham dan tidak perlu diperdebatkan karena masih dalam bingkai pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, hanya lagi2 itu adalah sebuah ijtihad yang mana pertimbangan manfaat dan mudhorot mjd penting.

4. Antum mengatakan banyak pemuda2 yg mau syahid, benarlah apa yg dikatakan Pak Da’i jihadnya seakan hanya mengejar mati, bukan menang, sementara kemenangan Islam tdk dipertimbangkan shg jihad menjadi tujuan bukan sarana iqomatuddin, ingat firman Alloh “Dan perangilah mereka semua sampai tdk ada fitnah (kekufuran), dan agama semata2 hanya bagi Alloh”, jadi jihad tujuannya iqomatuddin, bukan semata2 terobsesi untu mati syahid, akhirnya jd slogan “yg penting/pokoknya sy syahid, masalah menang atau kalah, itu urusan lain, pokoknya sy mati syahid masalah ikhwah2 yg belum ya itu urusan mereka, pokoknya bisa memeluk bidadaria dan pokoknya2 yg lain” bukankah itu sebuah “egoisme” ????

5. Ketika membaca pernyataan [Prihatin dengan merebaknya semangat jihad di kalangan muda tapi mengabaikan pertimbangan hikmah sehingga madharatnya lebih menonjol dibanding manfaatnya.] dikatakan polemik atau bahkan penggembosan jihad maka berati yg bersangkutan belum meresapi hukum2 jihad, apakah mundur dari medan tempur selalu haram ??? lihat Al Anfal 16, dalam jabhah sj seseorang boleh mundur untuk berstrategi yg mana pada posisi itu memang jelas wajibnya bertempur (bertempurnya bukan berlandaskan ijtihad semata tapi dalil nash), lalu apakah salah jika amaliyah yg didasari sebuah ijtihad semata kemudian distop/direvisi sementara karena pertimbangan kondisi ????

6. Masalah kesulitan da’wah, benar da’wah yg haq pasti ada kesulitan, dalam hal ini antum bicara keluar konteks, kita sedang bahas apabila ada infijar kemudian efeknya thd da’wah, bukan da’wah secara umum, tentunya jika antum mengakui bahwa da’wah yg haq memang sudah sulit, maka jangan diperkeruh dengan PR yg lebih rumit yaitu membahas infijar yg butuh penjelasan panjang dan itupun belum tentu diterima. Coba renungkan da’wah kemasyarakat menjelaskan bahaya syirik misalnya dgn dalil2 nash bukan ijtihad saja masih sulit diterima, aplagi maslah ijtihad yg rumit ??? ini fakta waqi’ ya akhi, ingat dalam bertindak/ menghukumi sebuah kondisi kita perlu fiqh dalil dan fiqh waqi’. Dalam hal ini ana menilai antum masih asyik dengan logika sendiri.

Terakhir, ana jg tidak bermaksud berpolemik, hanya intinya tidak perlu ada yg dirisaukan dari kalimat [Prihatin dengan merebaknya semangat jihad di kalangan muda tapi mengabaikan pertimbangan hikmah sehingga madharatnya lebih menonjol dibanding manfaatnya.]. Mari kita dewasa dalam menyikapi realitas, mari kita sadari bahwa masalah ijtihadiy tidak bisa diseragamkan, dan jangan hanya memandang dengan mata cacing (hanya dapat melihat suatu masalah dari pandangan amat sempit dan biasanya berhubungan dengan teknis tanpa mempertimbangan dampak luas) cobalah diimbangi dengan melihat menggunakan mata elang (yg melihat dengan sudut pandang luas dan biasanya digunakan oleh menilai dampaknya secara luas). Keep the spirit for IQOMATUDDIN

Komentar oleh aluyairi — Februari 25, 2010 @ 1:57 pm

Dilengkapi dengan komentar Da’I dari kubu Dakwah untuk Jon sebagai berikut:

Tanggapan atas komen antum terhadap kalimat kami:

[Bayangkan antum dalam posisi sebagai da’i yang harus mendukung jihad di depan masyarakat awam. Dengan dalil ayat atau hadits mana sang da’i bisa membela antum di hadapan publik?]

Ya Akhi … kalau sudah kondisi perang kita harus bertanya kepada para komandan perang sehingga kita akan paham apa pertimbangan mereka melakukan aksi-aksi mereka.

Dan ketika kondisinya seperti itu cara antum membela adalah pertama melakukan investigasi kasus tersebut sehingga antum tahu betul siapa korban-korban yang meninggal dan siapa korban-korban yang terluka. Jangan percaya laporan dari nara sumber media-media kafir. Hatta dari media muslim pun harus ditabayyun. Itulah kewajiban kita ketika menerima berita.

Karena ana yakin, ketika mujahidin melakukan aksi tidak sembarangan. Ada prosedur yang cukup ketat dan standar yang mereka jalani sebelum melakukan aksi. Adapun hasilnya itu diserahkan kepada Allah Ta’ala.

Jadi itu dulu yang antum lakukan sebagai bentuk pembelaan kepada mujahidin. Kalau antum sudah melakukannya dan memang benar ada muslim yang jadi korban, baru melangkah kepada langkah pembelaan yang lain.

>> Antum semangatnya “mau dibela terus dengan membabi buta”, tapi tidak siap diberi masukan. Mujahid sejati pastilah berjiwa santun, lembut dan tidak arogan dengan pendapatnya sendiri. Kami hanya mengingatkan, bahwa jihad harus dibimbing pertimbangan hikmah. Dan salah satu perkara penting, jihad bukan semata soal seni membunuh musuh, tapi juga mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan, termasuk dampaknya terhadap dakwah. Ini serupa dengan teori nahi munkar. Jika dengan nahi munkar akan berdampak makin populernya kemunkaran dan pengikutnya makin banyak, maka jangan dilakukan. Misal lain, jika berdebat dengan pengusung aliran sesat kita tak kuat argumennya, sehingga dikhawatirkan justru aliran sesat yang menjadi tampak benar di mata penonton, maka kita harus tahu diri, jangan melakukannya. Kita mesti mencari orang lain yang ahli di bidangnya, sehingga bisa mengalahkan kesesatan tersebut. Jika tetap nekat melakukan sendiri, berarti turut “berjasa” terhadap perkembangan aliran sesat tersebut. Inilah makna dari ungkapan: wa jaadilhum billati hiya ahsan. Tidak semata wajadilhum (yang penting debat mereka), tapi haruslah perdebatan yang kita gelar berdampak billatyi hiya ahsan (berdampak positif bagi al-haqq). Tentu semua ini menggunakan prediksi manusiawi, karena kita punya akal yang bisa menimbang bagaimana dampak yang akan ditimbulkannya.

Kalimat antum:

Ya Akhi … Dakwah yang benar, ada aksi atau tidak ada aksi pasti akan menemui kesulitan. Apakah antum tidak melihat bagaimana dakwah rasulullah di Mekah? Apa yang dialami beliau dalam berdakwah kepada Islam?

>> Betul, dakwah yang benar pasti mengalami kesulitan. Tapi sebisa mungkin, jangan sampai kesulitan itu ditimbulkan oleh diri kita sendiri karena kurang cermat dalam bertindak. Kesulitan yang datang dari musuh Islam, itu menjadi menu wajib dakwah. Meski demikian, kita tak boleh dengan sengaja memprovokasi musuh Islam untuk memusuhi kita. itu namanya mengharap ketemu musuh, seperti dalam jihad ada larangan la tatamannau liqaa al-’aduw. Kalau kesulitan dakwah disebabkan oleh teman sendiri, ini yang kami ingatkan.

Kesan yang kami tangkap dari keseluruhan tulisan antum, bahwa dakwah hanya subordinat jihad. Dalam kehidupan rumah tangga, ibarat sekedar pembantu yang dipandang sebelah mata. Suatu profesi kelas teri. Murahan. Tidak jantan. Kerjaan rendahan. Recehan. Sementara jihad adalah tuan rumah yang gagah, kaya, dan status sosialnya tinggi. Jihad laksana jabatan presiden yang demikian wah, sementara dakwah hanya kerjaan pembantu yang tak patut dibanggakan sama sekali. Jihad harus selalu dilayani bak raja, sementara dakwah disia-sia dan diterlantarkan karena tak memberi kebanggaan apa-apa. Tak perlu dijadikan bahan pertimbangan. SEOLAH SELURUH PERSOALAN SELESAI HANYA DENGAN JIHAD (yang bermakna membunuh tanpa perlu mikir, titik).

Kalimat antum:

Sudahkah antum berittiba’ dalam berdakwah kepada Islam? Sehingga ketika ada aksi jihad terus kalian menyalahkan aksi jihad tersebut. Oke, bisa jadi ada kesalahan dalam suatu aksi jihad. Lalu apakah dengan kesalahan itu jihad terus tidak boleh lagi? Karena membuat para da’i kesulitan?

Sesulit apakah dakwah antum sehingga sampai tega bersikap seperti itu?

>> Kami tidak menyalahkan jihad antum. Tapi melihat jihad antum dengan perspektif kami sebagai da’i. Pekerjaan dakwah memang meluruskan jika ada yang perlu diluruskan, tentu dengan panduan ilmu yang shahih. Apakah seseorang yang melakukan amaliyat jihad serta merta menjadi maksum dan suci sehingga pasti semua langkahnya benar? Mujahid juga manusia, yang dalam melakukan jihadnya boleh jadi agak sembrono. Ingatkah antum dengan teguran Rasulullah saw kepada Usamah bin Zaid yang membunuh musuh yang sudah mengucap la ilaha illallah? Rasulullah saw dengan teguran itu tidak lantas dipandang MENGGEMBOSI JIHAD bukan?

Kalimat antum:

Oke, bisa jadi ada kesalahan dalam suatu aksi jihad. Lalu apakah dengan kesalahan itu jihad terus tidak boleh lagi? Karena membuat para da’i kesulitan?

>> Kalimat pertama antum berisi pengakuan yang bagus. Tapi kalimat kedua, ini tuduhan yang tak berdasar. Adakah satu patah kata pun dari kami yang melarang jihad? Yang kami coba beri masukan kepada antum adalah, bahwa kita dalam jihad sejatinya juga sedang berdakwah. Ketika Rasulullah saw menegur Usamah bin Zaid ra yang tetap membunuh musuh yang sudah mengucapkan la ilaha illallah, itu juga berisi pesan dakwah. Bahwa jihad kita harus mempertimbangkan misi dakwah.

Artinya, jika dengan mengucapkan la ilaha illallah seseorang masih dibunuh, padahal belum ketahuan ia jujur atau dusta, lalu apa perlunya sekian tahun Rasulullah saw mendakwahkan kalimat tauhid? Berarti, usaha dakwah sekian tahun mengajak manusia kepada kalimat tauhid dipatahkan oleh aktifitas jihad yang sembrono itu. Jika ini dibiarkan, kelak jika orang didakwahi untuk bertauhid, ia akan komplain: buat apa kalimat tauhid itu jika tak berguna memelihara jiwaku dari ancaman pedangmu? Lha itu buktinya, Usamah membunuh orang yang sudah mengucapkannya?

Bukankan tindakan Usamah bin Zaid ra ini membuat Rasulullah saw kesulitan menjelaskannya di hadapan umat manusia?

Bahwa Rasulullah saw mendapat tantangan dakwah yang demikian berat dari orang kafir, itu benar. Tapi jangan sampai kesulitan dakwah itu justru datang dari Usamah bin Zaid ra, sahabat sendiri. Ini titik tekan nasehat kami kepada antum.

Maka jangan paksa para da’i untuk sekedar menjadi tukang stempel atas apapun tindakan para mujahid yang tidak hikmah itu. Mari kita pahami persoalan ini secara utuh, jangan GHULUW terhadap jihad !

DAKWAH BUKAN SOSOK KAMBING CONGEK YANG SELALU DICIBIR KARENA KURANG JANTAN, dan TIDAK MEMBANGKITKAN ADRENALIN. Sebaliknya, JIHAD adalah SEGALA-GALANYA sehingga POKOKNYA HARUS JIHAD, apapun akibatnya. TIDAK, sekali lagi TIDAK.

Kami bukan bekerja untuk sekedar gagah-gagahan, tapi untuk MENEGAKKAN ISLAM HINGGA JAYA. Semua cara harus ditempuh, dan JIHAD bagi kami BUKAN OBAT SEGALA PENYAKIT, tapi hanya sebagian penyakit. Ada penyakit lain yang hanya bisa diobati dengan ILMU dan DAKWAH.

Kalimat antum:

Karena ana yakin, ketika mujahidin melakukan aksi tidak sembarangan. Ada prosedur yang cukup ketat dan standar yang mereka jalani sebelum melakukan aksi.

>> Kalimat ini terlalu mengkulutskan mujahidin. Seolah tak mungkin mujahidin melakukan kesalahan. Bahwa mujahidin punya prosedur, itu benar. Tapi ada kalanya keliru perhitungan, itu sangat manusiawi.

Terakhir:

Ada kesan kuat, bahwa jika kritik itu datang dari da’i, tak perlu didengarkan. itu ibarat kritik anak SD terhadap sarjana.

Tapi seandainya kritik itu datang dari Usamah bin Ladin – hafidhahullah – karena sama-sama sarjana, maka diterima.

BELUM PERNAH JIHAD KOK MENGKRITIK JIHAD !

La haula wala quwwata billah.

Sejak kapan jihad melahirkan arogansi seperti ini?

Semoga Allah membimbing kita kepada jalan yang diridhai-Nya.

Demikian,

Afwan.

rabbana la taj’al fi qulubina ghillan lilladzina amanu.

Komentar oleh da’i — Februari 28, 2010 @ 3:36 pm

Masih ada tanggapan tambahan dari kubu Dakwah oleh Da’I sebagai berikut:

Untuk mujahid JON …

Membaca tanggapan balik antum, ada beberapa kalimat yang perlu kami konfirmasi.

[Saran antum memang ana terima, melawan musuh tidak harus dengan aksi infijar, bisa dengan sniper, dan cara-cara ightiyal yang lain. tetapi ketika cara-cara yang disarankan itu belum bisa dilaksanakan. Ditambah banyaknya para pemuda yang ingin mati syahid kita juga tidak bisa menghalangi mereka untuk meraih keinginannya].

>> Bagi kami, pernyataan ini janggal. Ketika antum mampu menyiapkan infijar yang demikian canggih, tapi di sisi lain cara yang lebih sederhana dikatakan belum mampu melaksanakannya. Kami khawatir, sebabnya lebih karena keengganan dengan pilihan non infijar. Maunya hanya infijar dan malas dengan cara lain. Apakah karena infijar lebih heboh? Renungkan kalimat kami sebelumnya: Akhi mujahid. Rencanakan jihad antum untuk MENANG, bukan untuk MATI. Jika antum hanya merencanakan kematian, berarti antum menyiapkan kekalahan. Semua mujahid pasti merancang strategi sejitu mungkin untuk menang, bukan merancang strategi SEHEBOH mungkin untuk mati.

Lalu kalimat, [ditambah banyaknya pemuda yang ingin mati syahid kita juga tidak bisa menghalangi mereka untuk meraih keinginannya].

>> Kalimat ini juga janggal. Justru karena semangat yang demikian menggebu, perlu diarahkan agar lebih efektif dan efisien. Motifnya bukan melarang atau menghalangi, tapi mengarahkan. Kalau melarang atau menghalangi jihad, jelas bukan kewenangan kami. Tapi mengarahkan agar lebih sesuai standar hikmah, ini menjadi kewajiban kami. Dan kalimat yang kami tulis di atas dalam konteks ini, bukan dalam konteks menghalangi. Semoga antum bisa memahami maksud kami.

Kalimat antum:

[Sebenarnya titik perbedaannya adalah pada persoalan: apakah di sini negara aman atau negara konflik (menurut hemat ana, yang bisa jadi salah). Karena para du’at yang menganggap aksi ikhwan mujahidin tidak berdasarkan pertimbangan hikmah biasanya alasannya seperti itu. Sehingga seringkali kita mendengar du’at yang mengatakan, “Kalau memang mau berjihad jangan di sini, pergi saja ke Afghanistan, Iraq, Chechnya dan daerah-daerah konflik lainnya.” Karena anggapannya di sini adalah daerah aman alias non konflik].

>> Ya akhi. Kalimat ini patut kita pertimbangkan dengan serius. Kita tidak semestinya mengabaikannya sama sekali, antipati total. Apakah solusi yang dibutuhkan oleh umat Islam Indonesia saat ini tinggal jihad? Mereka tak lagi membutuhkan dakwah? Benarkah demikian?

Menurut hemat kami, pekerjaan dakwah di negeri ini masih demikian luas. Kejahilan dan ketersesatan umat Islam dari jalan benar masih sangat banyak. Kita mesti menghargai juga pandangan mereka.

Para da’i adalah mitra antum dalam jihad. Saran mereka ini jangan antum tanggapi terlalu sensitive; bahwa para da’I menggembosi jihad.

Kalimat antum:

[Ya Akhi … kalau sudah kondisi perang kita harus bertanya kepada para komandan perang sehingga kita akan paham apa pertimbangan mereka melakukan aksi-aksi mereka.

Dan ketika kondisinya seperti itu cara antum membela adalah pertama melakukan investigasi kasus tersebut sehingga antum tahu betul siapa korban-korban yang meninggal dan siapa korban-korban yang terluka.]

>> Aduh, saran antum kok ya janggal amat. Begitu mudahnya komandan ditemui dalam situasi genting? Dan harus ketemu langsung?

Antum percaya dengan rilis dari Usamah bin Ladin? Lewat media apa? Antum ketemu langsung? Kalau antum percaya dengan berita dari internet, apakah salah para dai merujuk kepada internet, tanpa ketemu langsung untuk konfirmasi?

Mbok ya kalo memberi saran yang logis. Lalu para dai diminta investigasi? Setahu kami, belum pernah ada yang sampai melakukan seperti itu. Investigasi layaknya kepolisian? Investigasi macam apa yang antum maksud? Investigasi via media massa? Internet? Bukankah antum mengatakan: [Jangan percaya laporan dari nara sumber media-media kafir. Hatta dari media muslim pun harus ditabayyun. Itulah kewajiban kita ketika menerima berita.Karena ana yakin, ketika mujahidin melakukan aksi tidak sembarangan].

Kami para da’I antum minta untuk selalu memahami apapun yang antum lakukan. Bahkan membenarkan apapun manuver antum. Tak boleh ada yang perlu dikoreksi. Kami harus membela antum dengan gagah berani, secara membabi buta. Sebelum itu harus pula melakukan investigasi secara langsung, karena tak boleh mengandalkan media massa. Aduh!

Antum memposisikan para dai sebagai pelayan-pelayan, atau pembantu-pembantu bagi para mujahidin. Atau dalam istilah modern, menempatkan dakwah sebagai subordinat jihad. Jihad sebagai panglima, dan dakwah sekedar tukang panggul logistik. Apapun perintah panglima, tukang panggul harus mentaatinya.

Seolah dakwah dan jihad merupakan sebuah urutan: dakwah sebagai SD dan Jihad sebagai Universitas. Ketika seseorang bergelut dengan dakwah, ia baru tingkat SD. Sementara jika sudah berjihad, ia telah sarjana. Tak layak anak SD mengoreksi sarjana. GAK LEVEL ! Dan urutan ini tak bisa mundur. Seorang mujahid akan turun derajat jika kembali ke dunia dakwah.

Pandangan ini yang ingin kami luruskan. Bahwa hajat umat terhadap dakwah sama besarnya dengan hajat umat terhadap jihad. Keduanya harus link and match. Jangan ada yang dijadikan subordinat, sehingga harus selalu dalam posisi melayani, dan ada yang selalu maunya dilayani. Keduanya saling membutuhkan secara seimbang.

Kalimat antum:

[Sudahkah antum berittiba’ dalam berdakwah kepada Islam? Sehingga ketika ada aksi jihad terus kalian menyalahkan aksi jihad tersebut. Oke, bisa jadi ada kesalahan dalam suatu aksi jihad. Lalu apakah dengan kesalahan itu jihad terus tidak boleh lagi? Karena membuat para da’i kesulitan?]

>> Ini gaya khas orang yang mutung ketika dikritik. Seperti seorang panitia yang dievaluasi setelah melakukan acara. Ada kritik, dan ada upaya perbaikan. Apakah dengan evaluasi itu sang panitia lalu mengatakan bahwa pengkritik melarangnya menyelenggarakan acara untuk berikutnya? Tidak !

Esensinya adalah, mari dilakukan dengan tertib, dengan pertimbangan yang masak. Bukan semata pertimbangan efeknya terhadap musuh, tapi juga dampaknya bagi umat Islam.

Kalimat antum:

[Sesulit apakah dakwah antum sehingga sampai tega bersikap seperti itu?

Kalau antum tetap membela aksi jihad yang menurut antum salah, paling antum hanya akan digelari teroris, Islam radikal, garis keras, dan julukan-julukan lainnya. Sepengetahuan ana tidak ada yang sampai dibunuh atau dipenjara atau disiksa].

Dari awal bukan kesulitan ini yang kami komplainkan kepada antum. Tapi kesulitan dalam mencarikan pembenaran secara syariat. Sebab kewajiban kami menjelaskan dan membela dengan bingkai syariat.

Misalnya gini. Ada seorang muslim yang memukul tetangganya yang non muslim tanpa sebab. Antum dalam posisi harus membela muslim tersebut. Dengan ayat dan hadits apa yang akan antum gunakan? Ini bukan soal berani atau takut disebut teroris, tapi ada atau tidak pembenaran secara syariat.

Kalaupun tidak membela, pasti bukan karena antum takut disebut pembunuh, bukan? Antum ini bicara keluar dari konteks. Kalau diskusi, biasakan nyambung. Jangan asal membantah tapi keluar dari konteks.

Masalahnya, jika kita membela membabi buta tanpa member kritik konstruktif, itu artinya kami terjebak dalam ashabiyah (fanatisme jahiliyah). Sama dengan prinsip orang jahiliyah; bela temanmu, baik saat ia terzalimi atau berlaku zalim.

Kalimat antum:

[Tetapi karena antum tidak berani dijuluki dengan julukan seperti itu demi membela mujahidin dan aksinya maka antum jadi berkata, [Ketika para da’i dan ustadz tidak membela antum, antum sakit hati. Ketika kami menyatakan itu bukan jihad yang dibimbing hikmah, antum juga marah.]

Inilah bukti antum su’u dhan terhadap para dai. Antum hanya mau dikritik oleh Usamah bin Ladin hafidhahullah, tak mau oleh yang lain, oleh ulama atau du’at. Kalau da’I yang memberi koreksi, antum sudah tolak duluan sebelum dicerna. Khas gaya berfikir orang fanatik !

Kalimat antum:

[Tolong berikan kepada kami penjelasan yang berdasarkan dalil-dalil syar’I, agar kami bisa mengikuti dalil-dalil tersebut, bukan mengikuti pertimbangan maslahat madharat yang tidak berdalil …]

Di sinilah problem antum. Tidak pernah berpikir menggunakan logika manfaat dan madharat. Padahal antum menolak rokok salah satu alasan kuatnya adalah madharat bagi penghisap dan orang lain yang menghirup asapnya. Adakah dalil ayat atau hadits yang secara sharih (jelas, dengan menyebut kosa kata rokok) yang melarangnya?

Kami bertanya, dengan dalil apa antum mengharamkan rokok?

Dalil dalam benak antum hanya ayat atau hadits. Ini pandangan picik yang akan melahirkan fanatisme itu. Padahal dalam ilmu ushul fiqh, dalil tak hanya ayat atau hadits.

Wallahu a’lam.

Afwan !

Komentar oleh Da’i — Maret 1, 2010 @ 8:54 am

Jon dari kubu Jihad menanggapi sebagai berikut:

Baarokalloohu fiikum aluyairi dan Da’i ….

Ana banyak setuju dengan pandangan antum, sedikit yang belum setuju. Alhamdulillah ana bersyukur masih ada yang peduli dengan curahan hati ana. Insya Allah masukan antum akan menjadi bahan pertimbangan untuk ana pribadi.

Begini Ikhwah fillaah …

Ana hanya ingin penjelasan dari antum yang insya Allah banyak ilmunya, bagaimana dengan pernyataan-pernyataan Syaikh Usamah bin Ladin hafizhahullah dan Syaikh Dr. Abdullah Azzam rahimahullah mengenai hukum jihad yang sekarang sudah fardhu ‘ain.

Terutama dengan kisah sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang tidak ikut perang Tabuk (antum bisa lihat film Syarah Hadits Ka’b dari Syaikh Usamah hafizhahullah) yang ana pahami itu sebagai aplikasi ketika jihad fardhu ‘ain, yang oleh Syaikh Usamah sebagai dasar menyikapi kondisi umat Islam sekarang ini. Atau antum bisa baca Taujihat Manhajiyah 1 – 3 dari Syaikh Usamah.

Bagaimana pandangan antum mengenai hal itu, karena kebanyakan ikhwah memakai landasan fatwa-fatwa mereka berdua.

Ana seorang pencari kebenaran yang insya Allah siap menerima kebenaran dari siapapun. Insya Allah kesan-kesan negatif yang antum tangkap dari kelimat ana tidak ada.

Ana merasa senang sekali situs ini bisa mengakomodasi keinginan ana selama ini, yakni mendiskusikan persoalan umat ini dengan orang-orang yang memang serius berdakwah. Ana yakin antum-antum inilah orangnya.

Ana juga sedih dengan sikap ikhwah-ikhwah yang suka menjeneralisir sehingga orang yang tidak bersalah ikut-ikutan disalahkan (itupun masih sifatanya ijtihad darinya), dan ana juga husnuzhan kepada ikhwah2 tersebut karena begitu tinggi ghirah mereka terhadap dien ini dan kondisi umat Islam ini yang memang sangat butuh perhatian dan keseriusan kita bersama.

Ana mengharapkan situs ini bisa menjembatani persoalan tersebut. Agar jurang pemisah tidak semakin melebar. Ana yakin jalan terbaik adalah dengan kita bersatu di atas Qur’an dan Sunnah dengan jujur dan konsekuen serta konsisten.

Jazaakumullooh khoiron katsiro …

Akhukum wa muhibbukum fillah …

Komentar oleh jon — Maret 4, 2010 @ 7:24 am

Al-Uyairi dari kubu Dakwah menanggapi Jon sebagai berikut:

Akhi mujahid jon Arsyadakallah….

Berkaitan dengan Syaikh Asy Syahid (kama nahsabuhu) Abdullah Azzam Rahimahullah dan Syaikh Abu Abdillah Usamah bin Ladin tidak ada masalah dengan fatwa2 mereka, kamipun paham dengan referensi yg antum tulis, ya jihad menjadi fardhu’ain. Sekarang ana akan memberikan jembatan antara dakwah yg disampaikan oleh Al Ustadz Da’i dengan paradigma jihad yg antum kemukakan :

1. Ya akhi dengan apa antum memahamkan/menyadarkan ummat tentang bahaya makar musuh, pentingnya pembelaan ummat dengan jihad, membuka mata mereka bahwa permusuhan orang2 kafir thd ummat ini adalah karena motif agama bukan yg lain, bukankah DAKWAH adalah jawabannya, ketika kita mau mengajak mereka ikut serta dalam perlawanan thd aimatul kufri dengan jihad bukankah kita harus memahamkan kepada mereka ttg al wala’ wal bara’, kemudian sebelum seseorang memahami logika alwala’ walbara’ seseorang harus paham tauhid karena keduanya tidak bisa dipisahkan, dengan apa antum memahamkan/menyadarkan ini semua ???? apakah cukup mengandalkan satu/dua orang da’i atau pesantren2 , atau forum2 di dunia maya berapa orang yg suka membuka internet dan masuk ke forum2 keIslaman , bagaimana dengan yg tidak masuk tahu internet , tidak tahu pesantren, sudah maksimalkah antum menyadarkan mereka ??? dengan apa antum menyadarkan mereka ???? Apakah antum memiliki keyakinan mereka akan paham dengan sendirinya tanpa dakwahnya para da’i ??? Kalau antum jwb iya berarti antum jabariy dalam logika dakwah antum, menihilkan usaha dakwah dengan berharap mereka sadar dengan sendirinya. Apa bedanya antum dengan orang2 yg menolak jihad dalam rangka membela Islam atau tamkin khilafah dengan alasan toh Islam akan menang diakhir zaman sesuai nubuwwah dari Nabi SAW ??? Mereka menolak jihad dengan harapan kkemenangan turun dengan sendirinya dari langit, sama dengan antum menolak dakwah menyadarkan ummat dengan berharap kesadaran itu turun dengan sendirinya dari langit..

2. Apakah antum meyakini dapat berjihad dengan orang2 yg masih hobi mengkultuskan kiayinya dengan klenik2 sementara kiayinya jg enggan berjihad dan lebih senang berdzikir bersama dengan mengundang pejabat thoghut yg anti jihad, bagaimana mengajak mereka berjihad ???, Apakah antum meyakini bisa berjihad dengan mereka yg masih percaya dengan jimat2 kekebalan, bukankah mereka itu orang paling pengecut bagaimana antum akan berjihad dengan mereka ???

3. Ketika semua orang harus terjun ke front atau beramaliyah karena jihad fardhu’ain lalu siapa yg akan menyadarkan orang2 yg melakukan kesyirikan dan kekufuran, siapa yg akan menyadarkan mereka wahai ikhwah…Kita tidak menolak fatwa jihad fardhu’ain tetapi antum harus sadar jihad jg harus ditopang dengan dakwa yg maksimal dan ummat jg butuh dakwah, dengan kata lain dakwah adalh mata rantai dari jihad yg fardhu’ain yg mana keberadaannya tidak bisa dinihilkan..

4. Kemudian coba antum baca al umdah fi ‘idadul uddah tulisan DR. Abdul Qodir, dan fatwa2 Abu Qotadah, Abu Bashir ttg jihad fardhu’ain sementara banyak orang2 yg belum punya kesempatan berjihad, maka beliau menjawab mereka minimal melakukan ‘idad, i’dad terbagi menjadi dua yaitu ‘idad imani dan ‘idad madi, ‘idad imani adlh ‘idad bil ‘ilm, ‘idad bil ‘ilm adalah dengan dakwah ya akhi…

Renungkanlah ini semua wahai akhi kkarim…

Komentar oleh aluyairi — Maret 6, 2010 @ 11:23 am

Berikut jawaban Jon dari kubu Jihad:

Jazakalloh khoiron Akhi aluyairi …

Insya Allah ana menjadi bertambah paham hubungan dakwah dengan jihad sekarang ini.

Ana mau tanya Akhi, berarti anggapan bahwa yang sibuk dakwah dianggap meninggalkan jihad tidak sepenuhnya benar ya? Karena kan ketika dakwah diniatkan untuk i’dad ketika belum mampu berjihad maka kita tidak berdosa karena sekarang belum berjihad. Berarti yang penting niat dalam berdakwah harus disertai niat untuk i’dad lil jihad, karena memang belum mampu berjihad? Karena sekarang ini banyak ikhwan yang berpegang dengan kitab “Qooluu fa qul ‘anil jihad”

Syukron jaziilan

Komentar oleh jon — Maret 9, 2010 @ 6:08 am

Dilengkapi tanggapan dari kubu Dakwah oleh Princess Malika:

Hidup ini kan katanya klo gak i’dad ya jihad.. Ana pernah mendengar penjelasan dr As Syahid Insya Allah Ustaz Mukhlas, bahwa niatkan smua apa yang antum lakukan itu sebagai i’dad. Jelaslah bahwa orang-orang yang belum berkesempatan berjihad tapi tetap terus berdakwah itu bukan berarti ia enggan berjihad atau menafikan jihad seperti yang sering digembar-gemborkan beberapa pihak. Padahal, yang mengatakan org lain qoidun pun ternyata belum jihad-jihad juga. So, persiapkanlah diri antum smua dengan apa-apa yg antum miliki dan sesuai dengan kemampuan antum dengan tidak meninggalkan saudara kembar jihad yaitu DAKWAH !! Dakwah dan Jihad itu TIDAK BISA DIPISAHKAN BEGITU SAJA!!

Wallahu Ta’ala A’lam

Komentar oleh Princess Malika — Maret 10, 2010 @ 9:34 am

Sekali lagi, istilah kubu yang saya gunakan dalam narasi ini bukan dalam rangka dikhotomi. Tapi sekedar untuk memudahkan membayangkan dialog yang terjadi antara dua pihak.

Alhamdulillah, ending dialog ini baik. Menghasilkan kesepahaman bahwa keduanya dibutuhkan umat secara seimbang. Dakwah harus menghasilkan dukungan untuk jihad. Sebagaimana jihad juga harus menghargai dakwah. Tidak boleh masing-masing jalan sendiri-sendiri.

Konklusi ini penting. Oleh karenanya saya merasa perlu untuk mendokumentasikan diskusi ini, agar menjadi pelajaran untuk kita semua. Terdapat sejumlah editing dalam narasi ini, tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di blognya.

Semoga artikel ini tidak menyulut perdebatan baru. Jika kesepahaman telah diraih, harapan berikutnya masing-masing kubu dapat bekerja dengan serius dan tenang. Semuanya demi kemaslahatan umat Islam.

Kita semua ada pelayan umat Islam.

sumber : http://elhakimi.wordpress.com/2010/05/10/dialog-antara-dakwah-vs-jihad/
Forward dari http://cokiehti.wordpress.com/2010/08/26/dialog-antara-dakwah-vs-jihad/

Jumat, 08 Oktober 2010

Perlombaan Yang Abadi


Kehidupan itu adalah suatu misteri yang indah. Mengapa tidak? Karena kalau kita adalah manusia yang sebenarnya manusia, maka kita akan terus mencari makna kehidupan ini dan untuk apa kita hidup. Bukan hanya sekadar menjalani hidup , membiarkannya mengalir , mengejar kesuksesan, menikmati rezeki lalu pada akhirnya menunggu kematian. Bukan, itu bukanlah itu maknanya tapi jauh lebih dalam dari itu semua.

Hidup yang dijalani dengan sadar menuntut perubahan diri dari setiap panambahan hari dan bergantinya siang dan malam. Hidup untuk mencari tau, bagaimana seharusnya bersikap, bagaimana seharusnya berbicara, bagaimana seharusnya berfikir sebagai seorang Hamba. Sebagai seorang hamba sahaya tentulah harus menurut pada pemiliknya, melakukan yang disuruh dan membuatnya senang. Yah, untuk itulah kita hidup. Berusaha keras menjadi pribadi yang lebih baik, dunia dan akhirat hanya demi pemilik kita, yang telah menganugerahkan semua nikmat dan kesempatan untuk menguji kita hambanya, siapa yang paling baik amalnya

Setiap hari kita mengukur kadar kualitas diri kita. Sudah sampai mana amal ibadah saya, sudah sampai mana muamalah saya dengan orang orang di dekat saya, sudah sampai mana rasa syukur kita terhadap nikmat yang ada, sudah sampai mana penghargaan kita atas penggunaan rezeki, waktu dan kesehatan , sudah sampai mana keikhlasan hati kita, dan banyak hal lainnya. Semua hal itu tidak bisa dilakukan terkotak kotak. Semua itu adalah sesuatu yang terintegritas tentang amal ibadah dunia dan akhirat. Kita tidak bisa membiarkannya mengalir dan berkata “Aku belum ingin, aku belum sanggup, tunggulah saat aku tua, ini sudah cukup dan lain sebagainya. Ingatlah bahwa kita diciptakan sempurna dan sedang dinilai oleh yang di Atas maka bergegaslah! Bersainglah dengan yang lain! Bersainglah dengan orang yang selalu tesenyum memberikan bantuan padahal dirinya membutuhkan, bersainglah dengan orang yang sangat adil membagi waktunya antara organisasi dan pelajaran, bersainglah dengan orang yang sangat cepat menamatkan Alquraanya, bersainglah dengan orang yang setiap minggu selalu ada hapalan surat yang baru. Ada banyak mereka yang kita kagumi kualitas dirinya, yang tersembunyi dan tidak akan diketahui hanya sepandang mata saja. Temukan mereka dan bersainglah dengan mereka! Kita akan terpacu untuk menambah kualitas diri dan sungguh inilah perlombaanyang abadi. Akhirnya, hingga hari itu tiba, bersama sama kita semua bertemu di sana menemui pemiliki Kita. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Mahasuci Allah yang menguasai segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa Maha Pengampun. (Al Mulk: 1-2)

Kamis, 07 Oktober 2010

Hidup adalah Masa Karya

Hidup adalah masa karya.
Harga hidup kita di mata kebenaran ditentukan oleh kualitas karya kita.
Maka sesungguhnya waktu yang berhak diklaim sebagai umur kita adalah sebatas waktu yang kita isi dengan karya dan amal.
Selain itu, ia bukan milikmu.

(Anis Matta)